Selasa, 26 April 2011

Three decade AC/DC

Dunia musik rock sampai saat ini selalu berkutat di dua kutub, daratan AS dan Inggris sebagai wakil Eropa. Satu-satunya band legendaris di luar kedua kutub itu adalah AC/DC dari Australia.
Band rock ini dirintis di Sydney oleh Malcolm dan Angus Young sejak November 1973. Namun, gebrakan mereka sejatinya baru terjadi November 1976 saat merilis Dirty Deeds Done Dirt Cheap (Atlantic Record) yang laku hingga 6 juta keping di AS.
Seperti seperti band raksasa lain, perjalanan AC/DC mencapai ketenaran cukup terjal. Personel yang awet hanya Young bersaudara. Sisanya berguguran, kalau tak keluar ya…, pergi ke alam baka.
Formasi awal AC/DC selain Young bersaudara adalah Colin Burgess (drum), Larry Van Kriedt (bas), dan Dave Evans (vokal). Kelimanya bermain luar biasa di klub Chequers, Sydney dan langsung menarik perusahaan rekaman EMI.
Sayang belum juga album pertama mereka keluar, para personel AC/DC berguguran. Kondisi band yang amburadul itu membuat Young bersaudara nyaris membubarkan band mereka.
Untung saja masih ada Paul Evans (bas) yang sejatinya adalah manajer mereka yang ditarik menjadi personel band, Phil Rudd (drum) dan penyanyi legendaris Ronald Belford ‘Bon’ Scott, yang aslinya cuma supir mereka.
Tahun 1975, dengan personel separuh asal-asalan itu, AC/DC merilis High Voltage di Australia dan Selandia Baru. Album ini berhasil sehingga mereka kembali merilis TNT.
Setahun berikutnya, Atlantic Record mengajak AC/DC bekerja sama untuk merilis piringan hitam yang berisi kompilasi High Voltage dan TNT di AS dan Eropa pada September 1975. Hasilnya, laku 3 juta keping.
Penampilan Angus yang selalu mengenakan baju anak SMP, Ashfield Boys High School, Sydney itu ternyata usulan dari adik perempuan Young bersaudara, Margaret.
Nama AC/DC pun menjadi gunjingan. Saat itu ramai disebutAC/DC kependekan dari Anti-Christ/Devil’s Children, After Christ/Devil Comes atau Anti Christ/Death to Christ. Malcolm Young langsung membantah.
Bon tewas
Hanya berselang bulan, Dirty Deeds Done Dirt Cheap dirilis dan langsung meledak sampai 6 juta keping. Sayang kesuksesan ini tak diikuti dua album berikutnya, Let There Be Rock dan Powerage.
Jebloknya kedua album itu tak lain karena dunia sedang dilanda demam KISS.
AC/DC baru kembali menyengat saat melepas Highway to Hell tahun 1979 yang laku hingga 7 juta keping dan menjadi salah satu tembang rock sepanjang masa.
Sayang di tengah kembalinya kesuksesan itu, awal Februari 1980, setelah konser di London, Bon Scott ditemukan tewas di jok belakang mobilnya dengan cara serupa legenda rock yang lain, Jimi Hendrix dan John Bonham, tersedak muntahan sendiri.
Untung di tengah suasana duka itu muncul Brian Johnson. Pria bertampang sangar ini tak saja jadi penyelamat, tapi juga menjadi pembawa sukses besar. Juli 1980 mereka merilis Back in Black yang laris 21 juta keping.
Setelah album tersebut, AC/DC menelurkan album For Those About To Rock (1981) yang hanya laku 4 juta keping.
Tahun 1983 hingga 1985 menjadi masa-masa tersuram AC/DC. Phil Rudd mundur sementara album mereka Flick of The Switch, ’74 Jailbreak dan Fly on The Wall masing-masing hanya laku sejuta keping. Banyak orang menduga AC/DC bakal berakhir.
Namun, pendapat itu salah. Tepat satu dekade AC/DC kembali menyengat dunia dengan merilis Who Made Who yang laku sampai 5 juta keping.
Sayang setelah kembali sukses, AC/DC justru kembali pecah kongsi dengan Atlantic Record dan memilih merapat ke Epic Record. Hasilnya bisa ditebak. Album Blow Up Your Video yang dirilis 1988 jeblok dan hanya laku 3 juta keping.
Terselamatkan
Nama besar AC/DC terselamatkan saat mereka mendapat anugerah menjadi salah satu band yang terpilih dalam ARIA Hall of Fame.
Malcolm dan Angus dkk akhirnya kembali merapat ke Atlantic dan ditangani produser Bruce Fairbairn untuk menggarap The Razor’s Edge (1990).
Tangan dingin orang yang menangani Bon Jovi dan Aerosmith itu berhasil mengantarkan pencapaian angka penjualan 5 juta keping album.
Empat tahun sesudah kembalinya nama besar AC/DC, Rudd bergabung kembali dan langsung membantu AC/DC menggarap Ballbreaker.
Sayang mereka hadir di tahun yang salah. Saat itu glam rock dan grunge sedang jadi raja. Akibatnya album mereka hanya laku 2 juta album.
Setelah itu, AC/DC makin sayup terdengar. Album Volt (1997) dan terakhir Stiff Upper Lip (2000) tak bisa lagi membuat generasi di bawah mereka menoleh pada lengkingan Brian Johnson dan permainan gitar liar si anak sekolah Angus.
Tapi menjelang keputusasaan itu, pada 2002 majalah bergengsi Q justru menempatkan AC/DC di tempat teratas daftar ’50 grup band yang harus ditonton sebelum Anda mati’
Setahun berikutnya, AC/DC panen penghargaan. Maret 2003 mereka masuk ke Rock and Roll Hall of Fame versi majalah Rolling Stone.
Lalu pada Mei, Malcolm Young meraih Penghargaan Ted Albert untuk Pengabdian pada musik Australia.
Hanya berselang bulan, AC/DC mendapat penghargaan sebagai band yang berhasil menjual album di atas 46,5 juta hingga 63 juta dari Asosiasi Industri Rekaman.
Prestasi itu menempatkan band Australia itu nomor lima di belakang The Beatles, Led Zeppelin, Pink Floyd, dan Eagles.
Back in Black menjadi salah satu album paling laku dalam sejarah industri musik AS.
Banyak pihak yang mengharapkan agar AC/DC lalu melepas album kembali. Sayang kedua pentolan AC/DC sudah terlalu renta untuk menyengat. Akhirnya untuk memenuhi permintaan itu mereka merilis video Toronto Rocks (2004) dan Family Jewels (2005).

Referensi  :   http://aergot.wordpress.com/2008/11/13/three-decade-acdc/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar