Para
Joki dengan semangat menggigit ekor Jawi, ada juga yang memukul pantat
Jawi dengan semangat agar laju Jawinya semakin kencang. Sementara tepian
sawah berlumpur yang dijadikan arena semakin siang semakin ramai saja
oleh masyarakat yang menyaksikan helat budaya tradisi pacu jawi.
Ditengah teriakan semangat oleh masyarakat yang menyaksikan pacu jawi
agar sang Joki memacu jawinya semakin kencang, aku bermandi lumpur demi
mengabadikan sebuah helat budaya yang begitu unik serta suguhan tradisi
dan pemandangan alam negeri Sumatera Barat laksana surga yang amboy
nian.
Sore
itu aku membaca salah satu berita di harian nasional tentang pacu jawi
yang tersohor di Negeri asalnya yakni sebuah nagari kecil di Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat. Pacu Jawi jika diartikan dalam bahasa
Indonesia berarti Balapan Sapi. Tidak terlalu sulit untuk datang ke
Kabupaten tempat diadakanya Pacu Jawi ini, jika dari Padang Ibukota
Sumatera Barat kita cukup pergi kearah Padang Panjang kemungkinan akan
menempuh waktu sekitar 2 jam-an. Kita juga bisa menumpang angkutan bus
antar Kota dari Padang langsung menuju Batusangkar yang tiap jam pun
ada. Jikalau datang dari padang menuju arah Batusangkar pemandangan elok
akan menemani sepanjang perjalanan, mulai dari pemandangan sawah yang
begitu elok, air terjun lembah anai, pemandangan gunung marapi yang
menjulang, hamparan lahan pertanian, serta alam danau singkarak yang
begitu elok.
Sore
itu juga aku segera berkemas dan menyiapkan beberapa helai baju karena
cuaca di ufuk barat terlihat kurang begitu bersahabat menurutku. Awan
hitam menggumpal kelam sepertinya butiran air akan segera turun dalam
beberapa jam kedepan. Namun itu tidak menjadi masalah untuk menyaksikan
sebuah even budaya yang sangat menarik, baterai kamera ku sudah terisi
penuh, memori utama dan memori cadangan tak lupa aku masukan ketas yang
sudah mulai terlihat lusuh. Rencanaku jam 9 malam ini aku akan bertolak
menuju Sumatra Barat dari Pekanbaru. Perjalanan dari Pekanbaru ke
Sumatera Barat sendiri kemungkinan akan ditempuh dalam waktu 5 jam.
Dengan target perhentian pertama adalah makan malam di Lubuk Bangku
sekitar jam 2 malam. Tepat jam 9 malam aku memacu motor bututku
meninggalkan Subrantas setelah mengisi perut kosong di sebuah rumah
makan kecil sebelum tabek patah. Turut bersamaku 2 orang teman Bang
Widiarso dan Bang Yandra. Widiarso sehari hari bekerja sebagai pewarta
foto di group JPNN sedangkan Bang Yandra di bagian iklan RPG. Perjalanan
kami menuju Sumbar tidak begitu bermasalah, hanya saja Bang Yandra
harus berhenti disetiap SPBU yang dilaluinya untuk mengisi ulang bensin
motornya yang terkenal boros itu. Hujan yang aku kawatirkan sebelumnya
pun malu-malu datang kebumi. Jalanan yang agak sepi serta kondisi jalan
yang licin membuat aku bersemangat memacu motor bututku meski larinya
tidak bisa melebihi 80 KM/ jam. Karena jika dipacu melewati batas
kecepatan itu, aku yakin satu persatu orderdil motorku akan copot. Mulai
dari knalpot, rantai, ban bahkan tangki minyaknyapun kemungkinan akan
rapuh satu persatu. Ah tidak masalah yang penting akhirnya jam 1.30
kamipun sampai di Lubuk Bangku. Sebuah tempat perhentian setelah kelok 9
apabila kita datang dari arah Pekanbaru. Akupun membasuh muka yang
begitu pekat akibat kepulan abu jalanan di sebuah rumah makan yang
ditongkrongi oleh bus angkutan antar Provinsi. Aku memesan soto ditambah
teh telor untuk penambah stamina agar besok badanku tidak sempoyongan.
Hampir satu jam kami menikmati peristirahatan ini, entah mengapa hujan
tiba-tiba mengguyur dinginya malam itu. Ah sialan padahal kami akan
menuju kota
Payakumbuh untuk menginap beberapa jam di rumah Bang Yandra sebelum
sinar pagi datang menjelang. Jam digital ku menunjukan pukul 2.40, jika
mengkalkulasikan waktu tidur untuk malam ini kami hanya punya 2,5 jam
dimulai dari sekarang. Akhirnya hujan pun kami tempuh menembus gelapnya
jalananan basah Lubuk Bangku – Payakumbuh demi merebahkan tubuh sejenak.
Sekitar setengah jam perjalanan dari Lubuk Bangku kamipun sampai di
rumah Yandra untuk beristirahat sejenak. Aku sudah tidak tahan lagi
dengan pakaian yang basah kuyup. Ini sungguh tidak begitu enak, bahkan
celana dalamkunpun 100% basah. Dan adik kecilku begitu dingin dibuatnya.
Sukurlah aku membawa pakaian ganti yang membuat tidurku malam itu
lumayan nyenyak meski hanya 2 jam.
Pagi sekali aku sudah terbangun, udara kota
Payakumbuh begitu menusuk tulang. Pagi itu kami akan menuju Batusangkar
dari Kota Payakumbuh. Tujuan utama kami adalah Nagari Sungai Tarab
tempat diadakanya helat budaya anak Nagari Pacu Jawi tersebut. Tepat
pukul 6 aku mulai memacu laju motorku ditengah sepinya jalanan Kota
Payakumbuh. Perjalanan kesana sungguh begitu indah, hamparan perbukitan
memmbentang luas. Petani yang pergi kesawah menggiringi kerbauya untuk
membajak, sawah yang ditanami benih padi oleh kelompok petani yang
rata-rata ibu-ibu tersebut. Pemandangan yang begitu indah menurutku.
Setelah perjalanan sekitar 1 jam akhirnya kami sampai juga di sungai
tarab. Aku tidak bisa menahan perut keronconganku. Pagi itu aku sarapan
Nasi Padang dengan sambal Rendang. Cukuplah untuk pengganjal perut hingga nanti sore.
Masuk ke Arena Pacu Jawi
Tua
Muda Pria Wanita dari kejauhan berbondong bondong menuju arah tempat
diadakanya pacu jawi.Ibu ibu membawa dulang-dulang yang berisi makanan
untuk disajikan sebelum pembukaan acara pacu jawi. Dulang dulang dengan
hiasan berbagai motif yang menutupi itu disebut jamba Semakin siang
semakin ramai saja yang melintasi pematang sawah menuju arena pacu jawi
ini. Aku melihat mereka semua sangat gembira untuk menyaksikan acara
pacu jawi ini. Dilain pihak rombongan pria membawa beberapa ekor jawinya
untuk pacu jawi nanti. Ada pula yang memakai mobil untuk membawa Sapinya,. Namun ada yang begitu unik dan menarik perhatian ku. Ada
beberapa ekor Sapi yang terlihat begitu menor dengan dandanan yang
berkilau dari kejauhan. Sapi-sapi hias ! ya ternyata selain lomba Pacu
Jawi, ternyata ada juga lomba sapi hias. Para
penduduk desa berlomba untuk menghias sapinya agar menjadi lebih
menarik. Uniknya disetiap kepala sapi tersebut ditempelkan nama yang
begitu mengocok perutku ada namanya “Pistol”, “Bintang Pilem”, “Inul”,
Si Ros” dan masih banyak lagi nama-nama aneh yang tidak sangat cocok
untuk diberikan kepada jawi menor dandanan mereka. Arena pacu jawi kali
ini tempat nya begitu indah menurutku. Terletak di kaki Gunung Marapi,
di sawah luas dan untuk mencapainya kita harus melewati pematang sawah
yang lebarnya hanya sekitar 1 meter. Dari jalan beraspal aku harus
menggiring motor bututku sekitar 1 km melewati pematang sawah yang kedua
sisinya adalah sawah yang baru dipanen dan masih tergenang lumpur.
Ditambah lagi lalu lalang orang yang ingin menyaksikan pacu jawi membuat
jalan kecil ditengah sawah ini sulit untuk dilalui. Malahan sapi-sapi
peserta pacu jawi yang akan bertanding pun melalui jalan kecil ini pula.
Aku harus sedikit bersabar menunggu jalanya sapi-sapi yang bak
peragawati meleok-leok di atas pematang sawah. Ondeh mandeh tambuah
ciek…!
Talempong
adalah alat musik Tradisional Minangkabau, suaranya aku dengar mulai
bersahut-sahutan saat diriku beranjak semakin dekat ke arena, ditambah
dengan Saluang yang membuat suasana terasa begitu Minangkabau
sekali.Orang-orang berlalu lalang di arena pacu jawi ini semuanya
terneyum sumringah dan penuh keramahan. Tampak juga beberapa permainan
anak yang sudah mulai lekang oleh waktu. Ada
komedi putar namun semuanya terbuat dari kayu, ada gondola atau di
Sumatera Barat di sebut “Buaian Kaliang”, anak-anak begitu terlhat
gembira menaikinya. Teriakan –teriakan mereka menambah hangat suasana.
Dari kejauhan beberapa orang terlihat bermain laying-layang ditengah
birunya langit dengar latar belakang Gunung Marapi. Orang-orang begitu
menikmati acara budaya ini mereka datang membawa anak dan cucu mereka.
Tidak tahu pasti berapa umur pengunjung paling tua yang menyaksikan ini.
Namun aku melihat sekelompok lelaki tua yang pakaianya seragam dan
menjadi poin of interest sekali. Mereka memakai Batik + Payung bewarna
kuning mencolok. Oh my god ! Inilah Indonesia yang sebenarnya begitu indah and natural sekali !
Aku
berkeliling di arena pacu jawi ini. Tepat ditepian arena pacu ada
beberapa Pondok kayu. Tiangnya semua terbuat dari bambu dengan atap
pohon rumbia tempat penduduk sekitar berjualan. Ada yang berjualan Ketupat Gulai Paku, Katupat Pecal, Ada
yang menjual Galamai sebuah makanan khas Payakumbuh, Sate dan berbagai
macam makanan serta minuman lainya. Aku tertarik dengan minuman yang
wadahnya terbuat dari tempurung kelapa dan dibawahnya diberi potongan
bambu agar wadah tempurung tersebut bisa berdiri. Unik memang dan akupun
memesan 1 cangkir. Orang sini menyebutnya “Kopi Daun”. Ya jika
sebelumnya aku meminum kopi dari hasil olahan biji kopi atau kopi sachet
yang aku beli diwarung Bang Ucok didepan rumah untuk menemaniku
menyaksikan pertunjukan wayang ditengah malam namun kali ini berbeda.
Aku meminum kopi dari olahan hasil Daun Kopi. Konon kopi daun ini
pertama kali dikenal zaman penjajahan dimana dahulunya penjajah yang
datang membodohi masyarakat tanah datar bahwa yang lebih berkhasiat dan
lebih nikmat itu adalah hasil olahan dari daun kopi bukan bijinya.
Jadilah masyarakat disini mengolah daun kopi untuk diminum. Rasa Kopi
Daun sendiri begitu nikmat. Wadahnya membuat Kopi dari bahan daun ini
begitu manis, selain itu tiupan angina sepoi-sepoi dengan dendang lagu
Minangkabau membuat rasa kopi ini begitu nikmat dinikmati.Selesai
menikmati seduhan kopi daun ini akupun berhilir mudik diarena ini
melihat semua aktifitas yang terjadi disini.
Tepat
tengah hari acara Pacu Jawi pun dibuka, dibuka dengan tari persambahan
yang dilakoni oleh beberapa gadis cilik setempat. Mereka begitu elok
menarikan tarian ini. Para penonton begitu terkesima oleh suguhan yang
mereka hadirkan.Tepuk tangan riuh menjadi hadiah atas sajian tarian
uni-uni minang ini ( Gadis – gadis Minangkabau). Setelah tarian mereka
selesai, akhirnya acara yang paling ditunggu-tunggupun diumumkan melalui
“TOA” atau pengeras suara seperti kita kenal kebanyakan. Siang itu
semakin terik saja aku rasakan. Kulitku terasa terbakar rasanya berada
disini, namun semua itu tak melunturkan niatku untuk menyaksikan tradisi
pacu jawi ini. Justru disinilah kenikmatan menyaksikan even ini.
Ditengah terik panas, berbaur dengan penduduk lokal, menikmati
pemandangan alam nan elok ranah minangkabau, mencicipi berbagai makanan
khas yang hanya ada di negeri indah tepat di kaki gunung marapi ini.
Ditengah terik aku melihat ada seorang turis juga yang menyaksikan acara
ini. Tampak sekali dia begitu menikmati acara ini. Aku semakin senang,
melihat antusiasme penduduk dalam perhelatan ini, melihat turis datang
berkunjung menikmati tradisi yang begitu menakjubkan, melihat
kesederhanaan masyarakat Indonesia dengan balutan khas Keramahan yang
aku juluki “Real Hospitality just Indonesia”, serta pemandangan
negeri nan elok semakin membuka mataku untuk meyakini bahwa Indonesia
memang negeri surga dengan keelokan tiada tanding. Ratusan suku bangsa,
ribuan tradisi, jutaan suguhan alam Indonesia sepertinya tidak akan
habis untuk kita nikmati sepanjang hidup kita. Apa yang tidak ada di
Negeri kita Indonesia ? Mulai dari Pantai dengan laut nan biru mengisi
rata-rata seluruh pantai di pesisir setiap pulau Indonesia, Salju Indah
di Puncak Cartenz Pyramid nan ada di tanah Papua sana, danau nan indah
tersebar dimana-mana, peninggalan tradisi nenek moyang seperti
candi-candi yang bertabur, aneka satwa yang tidak dimiliki oleh Negara
lain, tradisi unik dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia dan
masih banyak lag hal-hal yang membuatku semakin iri oleh indahnya alam
negeriku.
Kembali
ke bahasan pacu jawi, tepian sawah semakin ramai oleh penonton yang
ingin menyaksikan kehebatan para joki memacu jawinya. Petakan sawah yang
akan dijadikan arena ini terlihat berair dengan takaran air setinggi
lutut. Ternyata untuk tinggi genangan air di petakan sawah ini ada
ketentuanya juga. Petakan sawah yang akan dijadikan arena pacu jawi
sendiri memiliki panjang sekitar lebih kurang 100 meter. Tepat dibawah
petakan sawah yang akan dijadikan arena utama ada juga petakan sawah
yang berair hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan sapi cedera
akibat lari sapi yang keluar jalur. Sejajar dengan petakan yang
dijadikan arena utama, terdapat petakan sawah yang sedikit berlumpur.
Antara petakan sawah yang sedikit berlumpur dan petakan sawah yang
dijadikan arena pacu jawi, dipisahkan oleh pematang yang nantinya para
lelaki tegak untuk menghentikan laju sapinya. Untuk para penonton
sendiri kebanyakan berdiri di tepian sawah yang lebih tinggi dari arena
pacu jawi. Aku mengambil tempat persis dipematang sawah dimuka petakan
sawah yang akan menjadi arena. Hal ini aku maksudkan agar mendapat
sebuah frame foto dari depan sehingga aku bisa mendapatkan ekspresi para
joki dengan sapinya yang berlari kencang meski resiko dihantam sapi
yang melaju kencang sangat besar, namun itu tidak membuat niatku surut.
Disinilah salah satu daya tarik memotret pacu jawi. Aku harus berpacu
denga waktu dan lari sekencang-kencangnya apabila sapi itu berlari
semakin dekat ke arahku. Lamakkk Bana !
Akhirnya
pacu jawi yang kutunggu-tunggu dimulai juga. Pemilik sapi dan jokinya
beranjak kea rah garis start dengan membawa dudukan yang terbuat dari
kayu yang nantinya dudukan dari kayu perbentuk lonjong ini akan
dipasangkan ke tubuh jawi. Diatas kayu inilah nantinya para joki berdiri
untuk memacu sapinya tanpa alat apapun kecuali tangan dan gigi mereka.
Mengapa begitu ? ya hanya tangan dan gigilah yang mereka gunakan untuk
memacu jawinya agar berlari kencang. Tangan mereka digunakan untuk
memukul pantat Sapi supaya berlari kencang sedangkan Giginya digunakan
untuk menggigit ekor sapi tersebut tujuanya juga sama membuat sapi-sapi
yang ditungganginya berlari semakin kencang. Nah uniknya pacu jawi ini
terlihat dari peserta yang bertanding. Peserta pacu jawi sendiri adalah
para pemilik sapi yang mencapai puluhan orang dengan sapi-sapi yang
memadati arena berjumlah lebih kurang 400 – 600 ekor. Terbayang bukan
betapa banyaknya sapi yang ada diarena ? aku melihat ini seperti sedang
berada di Padang Gembala nan jauh entah dimana. Dalam perlombaanya pun
tidak ada lawan, yang ada hanya sepasang sapi yang dipasangkan dudukan
terbuat dari kayu denga ditunggangi joki tanpa ada pesaing. Untuk
menilai sapi-sapi yang menang adalah dari sapi-sapi yang berlari kencang
dan lurus dari garis start hingga garis finish. Semakin kencang dan
lurus lari sapi-sapi tersebut maka semakin besar kemungkinan sapi-sapi
tersebut untuk menang.
Filosofi Pacu Jawi dalam kehidupan sehari-hari
Unik
dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Itulah yang aku dapatkan dari
menyaksikan sebuah perhelatan Pacu Jawi ini. Memang orang Minangkabau
memiliki sebuah pepatah yang begitu mendidik “Alam Takambang Manjadi Guru”
ya..memang benar dari alamlah kita seharusnya belajar. Pepatah yang
begitu bermakna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari alam
kita seharusnya belajar dan menjadikan alam sebagai guru yang tak
tertandingi. Bahkan ilmu yang alam sediakan tidaklah diajarkan
sepenuhnya di sekolah formal sekalipun. Jika mau menelaah lebih dalam
banyak hal yang kita bisa pelajari dari alam yang terbentang luas ini.
Begitu
juga dengan pacu jawi. Tidak ada piala Gubernur, tidak ada uang puluhan
juta, tidak ada trophy untuk sapi-sapi yang menang. Tidak ada juri yang
menilai laju sapi-sapi ini untuk dianugerahkan sebagai “Cow of the Match”.
Yang ada hanya masyarakat yang melihat dan menyaksikan yang menilai
apakah sapi-sapi ini layak disandangkan sebagai juara. Bagaimanakah
caranya mereka menilai sapi-sapi ini bisa menjadi juara ? Akupun
menanyakan ke beberapa orang tetua yang menyaksikan pacu jawi ini.
Jawaban logis dan sederhana namun begitu bernilai menurutku. Sapi-sapi
yang akan menjadi pemenang adalah sapi-sapi yang berlari kencang dan
lurus, gerakanya dengan pasanganya yang beraturan, larinya tdak keluar
dari lintasan serta selamat dari garis start hingga finish. Lantas
apabila sapi-sapi ini dinilai layak sebagai juara , apa yang didapatkan
oleh pemilik sapi ini ? Sederhana saja, jika sapi sapi tersebut dinilai
layak oleh para penonton yang datang sebagai juara maka nilai jual dari
sapi-sapi tersebut akan naik dibandingkan dengan nilai pasar sapi. Para
penonton yang datang menyaksikan perhelatan sapi ini akan mencari sapi
yang dianggapnya layak menjadi juara dan diakhir pertandingan, sapi-sapi
yang dinilainya juara tadi akan ditawar dengan harga tinggi kepada sang
pemiliknya untuk selanjutnya akan dilakukan transaksi jual beli apabila
harga telah disepakati.
Menurut
cerita yang aku dapatkan dari tetua yang menyaksikan pacu jawi ini.
Filosofi pacu jawi itulah yang berlaku juga di dalam kehidupan
sehari-hari manusia. Mengapa harus membandingkan sebuah helat budaya
dengan kehidupan sehari-hari. Untuk menilai sapi yang menang adalah
seperti diatas. Begitu juga dengan manusia, manusia yang akan menjadi
juara dan pemenang itu adalah manusia yang mampu berjalan lurus, tidak
keluar dari tatanan agama, budaya dan norma yang berlaku. Manusia yang
mampu mengatur jalan hidupnya untuk tetap dijalur yang benar dengan
menyelaraskan aspek yang berlaku untuk diimplementasikan kedalam
kehidupanya. Hanya dengan begitu manusia bisa menjadi jawara sejati.
Sungguh dibalik sebuah cipratan lumpur, ditengah teriakan penonton,
ditengah padang sawah yang luas, tepat di kaki Gunung Marapi Sumatera
Barat, diantara kerumunan ratusan sapi, dan ditengah semangat para joki
yang memacu sapinya terdapat sebuah pelajaran berharga dari sebuah helat
Budaya Pacu jawi. Pelajaran tentang hidup yang begitu berharga dari
tanah subur Batusangkar.
salam kenal..
BalasHapusartikel yang bagus mas..
kunjungi dan bergabunglah bersama kami di Minangkabau Sensation : Dari Jawi ka Randang 4D 3N
terima kasih